Ternyata di zaman emansipasi wanita sekarang ini masih ada stereotip yang mengatakan ilmuwan perempuan kurang kompeten dan itu yang menyebabkan semakin sedikit perempuan yang belajar sains atau bekerja di sektor sains dan teknologi seperti yang diberitakan VOA tertanggal 21 November 2012 yang berjudul Stereotip Halangi Perempuan Jadi Ilmuwan
Stereotip ini menyebabkan perempuan-perempuan di negara-negara Uni Eropa termasuk Amerika Serikat kurang dari 30 persen dalam pendaftaran jurusan fisika dan teknik, dan
sekitar 30 persen atau kurang ada dalam angkatan kerja di sektor sains
dan teknologi. Satu-satunya kekecualian adalah dalam biosains dan ilmu
hayati, dengan persentase perempuan mencapai 50 persen.
Menurut Corinne Moss-Racusin, asisten dosen program pascadoktoral di
Universitas Yale, bahwa lebih banyak perempuan pada tingkat profesional lebih
rendah terhambat karirnya, bahkan setelah mendapatkan gelar doktor.
Bagaimana dengan Indonesia, apakah stereotip ini berlaku?? ternyata situasi ini juga ditemukan di Asia, termasuk Indonesia. Walaupun saya sendiri tidak setuju dengan stereotip yang mengatakan bahwa ilmuwan perempuan kurang kompeten tapi tidak bisa dipungkiri kalau stereotip tersebut banyak dipercaya oleh kaum perempuan di dunia termasuk di Indonesia.
Dulu ketika masih sekolah seorang guru pernah mengatakan kepada saya dan teman-teman bahwa Kemampuan otak laki-laki lebih baik dalam soal logika seperti hitungan matematika, kimia dan fisika sementara wanita lebih baik dalam soal menghafal karena wanita memiliki daya ingat yang baik. Saya dan teman-teman menjadi percaya dengan stereotip tersebut. Dan ternyata streotip yang mengatakan bahwa perempuan dianggap lemah dalam penguasaan matematika juga dipercayai oleh banyak perempuan dari seluruh negara sampai dengan sekarang.
Sebuah penelitian baru yang dilakukan tim peneliti dari University of Cambridge dan University of Oxford mengungkapkan bahwa anggapan perempuan dianggap lemah dalam penguasaan matematika, tidak sepenuhnya benar. Ketakutan menghadapi matematika adalah faktor utama yang membuat sebagian besar anak perempuan tak bisa menguasai pelajaran itu. Para peneliti melihat tidak ada perbedaan secara keseluruhan antara anak perempuan dan laki-laki dalam penguasaan pelajaran matematika. Anak perempuan sebenarnya berpotensi menguasai matematika lebih baik daripada anak laki-laki, namun, kemampuan mereka telah dilemahkan oleh tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Behavioral and Brain Functions.
Atau kita pernah mendengar bahkan percaya dengan stereotip yang mengatakan bahwa Pria lebih pintar dari wanita. Ternyata hal itu juga sepenuhnya tidak benar.
James Flynn, seorang peneliti Selandia Baru yang dikenal sebagai ahli pengujian IQ, mengatakan tes intelegensi wanita kini jauh di atas kaum pria. Selama abad terakhir, wanita telah tertinggal sedikit di belakang laki-laki dalam skor tes IQ, sebanyak lima poin. Tapi sekarang, wanita telah menutup kesenjangan dan bahkan beringsut ke depan dalam tes yang kerap dilakukan untuk mengukur kecerdasan otak ini.
Bagaimana dengan Indonesia, apakah stereotip ini berlaku?? ternyata situasi ini juga ditemukan di Asia, termasuk Indonesia. Walaupun saya sendiri tidak setuju dengan stereotip yang mengatakan bahwa ilmuwan perempuan kurang kompeten tapi tidak bisa dipungkiri kalau stereotip tersebut banyak dipercaya oleh kaum perempuan di dunia termasuk di Indonesia.
Dulu ketika masih sekolah seorang guru pernah mengatakan kepada saya dan teman-teman bahwa Kemampuan otak laki-laki lebih baik dalam soal logika seperti hitungan matematika, kimia dan fisika sementara wanita lebih baik dalam soal menghafal karena wanita memiliki daya ingat yang baik. Saya dan teman-teman menjadi percaya dengan stereotip tersebut. Dan ternyata streotip yang mengatakan bahwa perempuan dianggap lemah dalam penguasaan matematika juga dipercayai oleh banyak perempuan dari seluruh negara sampai dengan sekarang.
Sebuah penelitian baru yang dilakukan tim peneliti dari University of Cambridge dan University of Oxford mengungkapkan bahwa anggapan perempuan dianggap lemah dalam penguasaan matematika, tidak sepenuhnya benar. Ketakutan menghadapi matematika adalah faktor utama yang membuat sebagian besar anak perempuan tak bisa menguasai pelajaran itu. Para peneliti melihat tidak ada perbedaan secara keseluruhan antara anak perempuan dan laki-laki dalam penguasaan pelajaran matematika. Anak perempuan sebenarnya berpotensi menguasai matematika lebih baik daripada anak laki-laki, namun, kemampuan mereka telah dilemahkan oleh tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Behavioral and Brain Functions.
Atau kita pernah mendengar bahkan percaya dengan stereotip yang mengatakan bahwa Pria lebih pintar dari wanita. Ternyata hal itu juga sepenuhnya tidak benar.
James Flynn, seorang peneliti Selandia Baru yang dikenal sebagai ahli pengujian IQ, mengatakan tes intelegensi wanita kini jauh di atas kaum pria. Selama abad terakhir, wanita telah tertinggal sedikit di belakang laki-laki dalam skor tes IQ, sebanyak lima poin. Tapi sekarang, wanita telah menutup kesenjangan dan bahkan beringsut ke depan dalam tes yang kerap dilakukan untuk mengukur kecerdasan otak ini.
Stereotip-stereotip tersebutlah yang juga akhirnya memunculkan stereotip yang mengatakan bahwa ilmuwan perempuan itu kurang kompeten dibandingkan ilmuwan laki-laki. Perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak cenderung lebih fokus kepada keluarga sehingga sering dianggap sebagai hambatan untuk menjadi ilmuwan yang kompeten. Stereotip ini begitu melekat tapi bukan berarti bahwa perempuan tidak mampu melawan stereotip tersebut.
Kalau zaman dahulu kita punya Raden Adjeng Kartini yang juga melawan stereotip pada masa itu yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah, hanya perlu menikah dan mengurus suami dan anak-anak. Oleh karena itu perempuan Indonesia banyak yang terbelakang dari segi pendidikan dan pengetahuan. Surat-surat Kartini yang dibukukan dengan judul Habis gelap terbitlah terang menunjukkan keperdulian Kartini akan kemajuan perempuan di Indonesia dan hal itu menjadi awal dari perjuangan emansipasi wanita di Indonesia.
Kalau zaman dahulu kita punya Raden Adjeng Kartini yang juga melawan stereotip pada masa itu yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah, hanya perlu menikah dan mengurus suami dan anak-anak. Oleh karena itu perempuan Indonesia banyak yang terbelakang dari segi pendidikan dan pengetahuan. Surat-surat Kartini yang dibukukan dengan judul Habis gelap terbitlah terang menunjukkan keperdulian Kartini akan kemajuan perempuan di Indonesia dan hal itu menjadi awal dari perjuangan emansipasi wanita di Indonesia.
Sekarang kita mempunyai Kartini-kartini modern yang juga bisa membantah stereotip negatif yang membatasi kemajuan perempuan. Beberapa perempuan Indonesia ini mampu menunjukkan bahwa stereotip yang mengatakan ilmuwan perempuan kurang kompeten itu tidak benar. Ilmuwan perempuan Indonesia ini bahkan dapat bekerja menjadi dosen dan peneliti di luar negeri dan banyak mendapat penghargaan.
llmuwan perempuan Indonesia yang berjaya di luar negeri antara lain: adalah Juliana Sutanto PhD, asal Manado, Sulawesi Utara ini adalah satu-satunya
profesor Indonesia, yang ketika berusia 28 tahun sudah meraih posisi
sebagai Asisten Pofesor di salah satu universitas ETH di Zurich, Swiss. Sudah banyak penghargaan yang diraih Juliana dan beberapa penelitian juga sudah ia patenkan. Selain Juliana Sutanto, ada juga Profesor
Merlyna Lim, asal Bandung yang sudah puluhan tahun
mengajar di Universitas Arizona, Amerika Serikat. Seperti halnya
Juliana, Merlyna Lim juga telah melakukan penelitian dan riset terutama
di bidang media publik. Merlyna Lim adalah lulusan cum laude dari
Universitas of Twente di Enschede, Belanda. Selain sebagai profesor di
Universitas Arizona, Amerika Serikat, Merlyna juga sering mengajar di
sejumlah universitas di berbagai negara terutama di Amerika dan Eropa.
Merlyna Lim adalah profesor wanita dari Indonesia yang menggenggam status khusus di ArizonaState University, AS. Ia satu-satunya profesor junior asing yang memegang visa Amerika Serikat tipe 0-1. Visa ini hanya diberikan kepada ilmuwan top, seniman papan atas, atau olahragawan dunia yang diakui AS.
Merlyna Lim adalah profesor wanita dari Indonesia yang menggenggam status khusus di ArizonaState University, AS. Ia satu-satunya profesor junior asing yang memegang visa Amerika Serikat tipe 0-1. Visa ini hanya diberikan kepada ilmuwan top, seniman papan atas, atau olahragawan dunia yang diakui AS.
Professorwanita yang satu ini juga pernah menerima beragam penghargaan antara lain : Our
Common Fellowship dari Volkswagen Foundation (2010), Faculty Star of Global
Minds dari ASU College of Liberal Arts and Sciences (2009), Annenberg Networked
Publics Research Fellowship (2005-2006), Henry Luce Southeast Asia fellowship
(2004), Oxford Summer Doctoral Fellowship (2003), NWO Wotro Fellowship
(2003-2005), dan ASIST International Paper Contest Winner (2002).
Selain ilmuwan perempuan Indonesia yang berkarya di luar negeri kita juga punya ilmuwan perempuan yang berkarya di dalam negeri dan mendapatkan penghargaan internasional.
Peneliti
asal Indonesia yang meraih penghargaan internasional dalam program LOreal-Unesco For Women in Science 2008 adalah Made Tri Ari Penia Kresnowati, peraih gelar doktor di bidang teknologi bioproses dari
Universitas Teknologi Delft (TU Delft) Belanda. Saat ini ia mengajar
teknik kimia kepada mahasiswa strata satu dan strata dua di Institut
Teknologi Bandung, Indonesia. Proposal yang membuat ia memenangkan
fellowship ini berjudul Teknologi Bioproses: Konsepsi Prototip
Bioreaktor untuk Pengembangan Sel Punca. Dr Penia Kresnowati
adalah perempuan peneliti Indonesia ketiga yang menerima penghargaan
internasional bergengsi ini, mengikuti Dr Ines Atmosukarto (Pusat
Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong pada tahun 2004 dan Dr Fenny Dwivany (ITB) pada tahun 2007.
Penia saat ini mengajar di ITB sebagai dosen di jurusan Teknik Kimia dan menjadi peraih doktor termuda di lingkungan tempat mengajarnya. Ia menyelesaikan program master dan doktor Teknologi Bioproses di Delft University of Technology Belanda setelah lulus S1 Juruan Teknik Kimia tahun 1999 di ITB. Selain sebagai seorang dosen dan peneliti, Penia juga merupakan seorang Ibu.
Kita patut bangga kepada para ilmuwan perempuan Indonesia tersebut yang dapat melawan stereotip yang ada dan bahkan memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia juga mengharumkan nama Indonesia. Para ilmuwan perempuan tersebut juga mampu membuktikan bahwa jangan percaya stereotip yang ada tapi tetap fokus apa yang menjadi cita-cita dan tujuan kita dengan usaha, kerja keras, ketekunan dan juga percaya bahwa kita bisa.
Jadi kita jangan percaya dengan stereotip yang ada apalagi penelitian juga banyak menunjukkan bahwa kemampuan perempuan bisa sama atau bahkan melebih dari kemampuan laki-laki, itu semua tergantung dari usaha dan kepercayaan kita akan kemampuan kita masing-masing.
No comments:
Post a Comment